Haruskah?

Haruskah?

Senin, 27 Juli 2015, tepat pukul 7.45 pagi. Sepagi ini aku sudah berada di Bandara Internasional Minangkabau. Naik bus dari Pariaman, turun di bawah Fly Over Duku, dan menumpang ojek sampai ke sini. Jangan tanya kenapa sepagi ini aku sudah berada di sini. Aku sendiri enggan menjawabnya.

Sebelumnya aku tak pernah membenci hari senin, sampai hari ini aku membencinya seperti kebanyakan orang. Kau tahu, ternyata yang paling menyebalkan dari hari senin adalah berpacu dengan waktu.

Menyebalkan, mendapat pesan singkat pagi-pagi buta yang membuatmu shock. Dengan mata yang masih mengantuk kau harus memikirkan, akan memberikan apa, apa yang harus diucapkan, harus gimana dan lainnya.

Tapi di luar semua itu, yang jelas pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Lebih beku. Entah karena pengaruh hujan deras semalam atau karena kejadian pagi ini yang mempengaruhi kondisi hati.

***

A: Jangan lupa bersyukur. Oiya, hari ini aku mau berangkat?

E: Iya. Berangkat ke?

A: Bali

E: Are you serious?

A: I’m seriously

E: Nggak tahu deh ini mau sedih atau senang. Ini nggak lagi mimpi kan? Kenapa nggak bilang kemarin kalau mau pergi? Kode kek, lagi packing atau apa gitu. Setidaknya aku bisa memberikan perpisahan yang lebih baik.

A: Mau kasih surprise

E: Apanya yang surprise? Kamu bikin galau sepagi ini

A: Maaf, aku kira kamu bakal senang.

E: Senang gimana coba? Saat lagi…. ah sudahlah. Pesawat jam berapa hari ini?

A: Don’t cry. Jam 10.

E: Gimana nggak cry. Kamu semacam sekongkol sama semesta terus bikin joke yang nggak lucu. Aku tahu aku nggak bisa cegah kamu pergi, tapi setidaknya kan….

A: Kan masih ada waktu. Kita masih bisa kok ketemu. Maaf

E: Jam berapa berangkat ke Padang?

A: Ini udah mau berangkat.

E: Sip. Aku tunggu di Bandara

***

Aku melirik jam tangan, masih pukul 09.00. Dan entah kenapa semuanya terasa justru makin dingin. Bandara ini mulai ramai, hiruk pikuk. Tapi aku malah merasa sepi.

“Bang”

Sebuah suara memanggil. Aku sangat hafal dengan suara itu. Suara yang selalu menyahutku pukul lima pagi saat membangunkannya untuk shalat shubuh. Aku mencari-cari sumber suara itu.

Aku melihatnya. Seorang wanita memakai jilbal berwarna kuning. Setengah berlari ke arahku. Aku berdiri dari tempat dudukku.

Ia hanya menatapku, tatapan maaf. Tatapan itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. Aku kembali duduk di tempat dudukku tadi. Sebuah bangku besi panjang di pelataran bandara. Dia duduk disampingku.

“Kamu tahu, dalam setiap cerita selalu ada bagian bahagia dan dan bagian sedihnya. Dan setelah semua yang kita lalui, Aku rasa ini adalah bagian sedihnya. Tapi, aku tak pernah tahu. Kita tak akan pernah tahu cerita ini kapan dan akan berakhir seperti apa.

“Bang..”

“Aku berharap ini bukan akhir. Tapi hanya bagian dari keseluruhan cerita yang berakhir bahagian. Aku berharap begitu. Aku yakin kamu pasti mengharapkan hal yang sama”

“Ini,” kataku sambil menyerahkan Buku Dilan pertama karya Pidi Baiq. “Maaf, aku cuma bisa memberikan ini.”

Aku berdiri. Dia pun berdiri. Aku menatap matanya yang berkaca-kaca.

“Kalau semua tak lebih baik. Kembalilah pulang. Ingat kan kalau aku pernah bilang, Aku adalah rumah, tempatmu pulang menyandarkan lelah.”

Aku berjalan ke arahnya. Dan menepuk bahunya. “Take care. Jangan lupa bersenda gurau.”

Aku pergi. Perlahan dia terasa begitu jauh. Jauh. Dan jauh sekali.

haaah… Kau bahkan sudah pergi sebelum aku sempat mengatakan sesuatu yang lebih penting. Aku berharap tadinya jika aku mengatakannya bisa mencegah kepergianmu. Tapi apakah masih harus aku katakan kalau aku mencintaimu?

8 thoughts on “Haruskah?

  1. Fotonya mana? Kalo ada foto ketika kejadian pagi itu sepertinya akan lebih gimanaaa gitu.
    Ini cuma bisa membayangkan seperti adegan cinta dan rangga di bandara #eh.

    Coba lebih pagi lagi. Kan lebih dingin #eh kak kan bisa liat adegannya Fan.
    Senin itu kak juga ada di BIM jam 5 subuh 🙂

    Like

Leave a reply to Malak Cancel reply